***
Dua tahun berlalu, suamiku tak
kunjung berubah juga. Aku
menangis setiap malam, lelah
menanti seperti ini, kami seperti
orang asing yang baru saja
berkenalan.
Kemesraan yang kami ciptakan
dulu telah sirna. Walaupun
kondisinya tetap seperti itu, aku
tetap merawatnya & menyiakan
segala yang ia perlukan.
Penyakitkupun masih aku simpan
dengan baik dan sekalipun ia tak
pernah bertanya perihal obat apa
yang aku minum. Kebahagiaan ku
telah sirna, harapan menjadi ibu
pun telah aku pendam. Aku tak
tahu kapan ini semua akan
berakhir.
Bersyukurlah.. aku punya
penghasilan sendiri dari
aktifitasku sebagai seorang guru
ngaji, jadi aku tak perlu meminta
uang padanya hanya untuk
pengobatan kankerku. Aku pun
hanya berobat semampuku.
Sungguh.. suami yang dulu aku
puja dan aku banggakan,
sekarang telah menjadi orang
asing bagiku, setiap aku bertanya
ia selalu menyuruhku untuk
berpikir sendiri. Tiba-tiba saja
malam itu setelah makan malam
usai, suamiku memanggilku.
“Ya, ada apa Yah!” sahutku
dengan memanggil nama
kesayangannya “Ayah”.
“Lusa kita siap-siap ke Sabang
ya.” Jawabnya tegas.
“Ada apa? Mengapa?”, sahutku
penuh dengan keheranan.
Astaghfirullah.. suami ku yang
dulu lembut tiba-tiba saja menjadi
kasar, dia membentakku.
Sehingga tak ada lagi kelanjutan
diskusi antara kami.
Dia mengatakan ”Kau ikut saja
jangan banyak tanya!!”
Lalu aku pun bersegera
mengemasi barang-barang yang
akan dibawa ke Sabang sambil
menangis, sedih karena suamiku
kini tak ku kenal lagi.
Lima tahun kami menikah dan
sudah 2 tahun pula ia menjadi
orang asing buatku. Ku lihat
kamar kami yg dulu hangat penuh
cinta yang dihiasi foto pernikahan
kami, sekarang menjadi dingin..
sangat dingin dari batu es. Aku
menangis dengan kebingungan
ini. Ingin rasanya aku berontak
berteriak, tapi aku tak bisa.
Suamiku tak suka dengan wanita
yang kasar, ngomong dengan
nada tinggi, suka membanting
barang-barang. Dia bilang
perbuatan itu menunjukkan sikap
ketidakhormatan kepadanya. Aku
hanya bisa bersabar menantinya
bicara dan sabar mengobati
penyakitku ini, dalam
kesendirianku..
***
Kami telah sampai di Sabang, aku
masih merasa lelah karena
semalaman aku tidak tidur karena
terus berpikir. Keluarga besarnya
juga telah berkumpul disana,
termasuk ibu & adik-adiknya. Aku
tidak tahu ada acara apa ini..
Aku dan suamiku pun masuk ke
kamar kami. Suamiku tak betah
didalam kamar tua itu, ia pun
langsung keluar bergabung
dengan keluarga besarnya.
Baru saja aku membongkar koper
kami dan ingin memasukkannya
ke dalam lemari tua yg berada di
dekat pintu kamar, lemari tua
yang telah ada sebelum suamiku
lahir, tiba-tiba Tante Lia, tante
yang sangat baik padaku
memanggil ku untuk bersegera
berkumpul diruang tengah, aku
pun menuju ke ruang keluarga
yang berada ditengah rumah
besar itu, yang tampak seperti
rumah zaman peninggalan
belanda.
Kemudian aku duduk disamping
suamiku, dan suamiku menunduk
penuh dengan kebisuan, aku tak
berani bertanya padanya.
Tiba-tiba saja neneknya, orang
yang dianggap paling tua dan
paling berhak atas semuanya,
membuka pembicaraan.
“Baiklah, karena kalian telah
berkumpul, nenek ingin bicara
dengan kau Fisha ”. Neneknya
berbicara sangat tegas, dengan
sorot mata yang tajam.
”Ada apa ya Nek?” sahutku
dengan penuh tanya..
Nenek pun menjawab, “Kau
telah bergabung dengan keluarga
kami hampir 8 tahun, sampai saat
ini kami tak melihat tanda-tanda
kehamilan yang sempurna sebab
selama ini kau selalu
keguguran !!“.
Aku menangis.. untuk inikah aku
diundang kemari? Untuk dihina
ataukah dipisahkan dengan
suamiku?
“Sebenarnya kami sudah punya
calon untuk Fikri, dari dulu..
sebelum kau menikah dengannya.
Tapi Fikri anak yang keras kepala,
tak mau di atur,dan akhirnya
menikahlah ia dengan kau. ”
Neneknya berbicara sangat
lantang, mungkin logat orang
Sabang seperti itu semua.
Aku hanya bisa tersenyum dan
melihat wajah suamiku yang
kosong matanya.
“Dan aku dengar dari ibu
mertuamu kau pun sudah
berkenalan dengannya ”,
neneknya masih melanjutkan
pembicaraan itu.
Sedangkan suamiku hanya
terdiam saja, tapi aku lihat air
matanya. Ingin aku peluk suamiku
agar ia kuat dengan semua ini,
tapi aku tak punya keberanian itu.
Neneknya masih saja berbicara
panjang lebar dan yang terakhir
dari ucapannya dengan mimik
wajah yang sangat menantang
kemudian berkata, “kau maunya
gimana? kau dimadu atau
diceraikan ?“
MasyaAllah.. kuatkan hati ini.. aku
ingin jatuh pingsan. Hati ini
seakan remuk mendengarnya,
hancur hatiku. Mengapa
keluarganya bersikap seperti ini
terhadapku..
Aku selalu munutupi masalah ini
dari kedua orang tuaku yang
tinggal di pulau
kayu, mereka mengira aku sangat
bahagia 2 tahun belakangan ini.
“Fish, jawab!.” Dengan tegas
Ibunya langsung memintaku
untuk menjawab.
Aku langsung memegang tangan
suamiku. Dengan tangan yang
dingin dan gemetar aku
menjawab dengan tegas.
Walaupun aku tidak bisa
berdiskusi dulu dengan imamku,
tapi aku dapat berdiskusi
dengannya melalui bathiniah.
‘’Untuk kebaikan dan masa
depan keluarga ini, aku akan
menyambut baik seorang wanita
baru dirumah kami.. ”
Itu yang aku jawab, dengan kata
lain aku rela cintaku dibagi. Dan
pada saat itu juga suamiku
memandangku dengan tetesan air
mata, tapi air mataku tak sedikit
pun menetes di hadapan mereka.
Aku lalu bertanya kepada
suamiku, “Ayah siapakah yang
akan menjadi sahabatku dirumah
kita nanti, yah ?”
Suamiku menjawab, ”Dia Desi!”
Aku pun langsung menarik napas
dan langsung berbicara, ”Kapan
pernikahannya berlangsung? Apa
yang harus saya siapkan dalam
pernikahan ini Nek?. ”
Ayah mertuaku menjawab,
“ Pernikahannya 2 minggu
lagi.”
”Baiklah kalo begitu saya akan
menelpon pembantu di rumah,
untuk menyuruhnya mengurus KK
kami ke kelurahan besok ”,
setelah berbicara seperti itu aku
permisi untuk pamit ke kamar.
Tak tahan lagi.. air mata ini akan
turun, aku berjalan sangat cepat,
aku buka pintu kamar dan aku
langsung duduk di tempat tidur.
Ingin berteriak, tapi aku sendiri
disini. Tak kuat rasanya menerima
hal ini, cintaku telah dibagi. Sakit.
Diiringi akutnya penyakitku..
Apakah karena ini suamiku
menjadi orang yang asing selama
2 tahun belakangan ini?
Aku berjalan menuju ke meja rias,
kubuka jilbabku, aku bercermin
sambil bertanya-tanya, “sudah
tidak cantikkah aku ini?“
Ku ambil sisirku, aku menyisiri
rambutku yang setiap hari rontok.
Kulihat wajahku, ternyata aku
memang sudah tidak cantik lagi,
rambutku sudah hampir habis..
kepalaku sudah botak dibagian
tengahnya.
Tiba-tiba pintu kamar ini terbuka,
ternyata suamiku yang datang, ia
berdiri dibelakangku. Tak kuhapus
air mata ini, aku bersegera
memandangnya dari cermin meja
rias itu.
Kami diam sejenak, lalu aku mulai
pembicaraan, “terima kasih
ayah, kamu memberi sahabat
kepada ku. Jadi aku tak perlu
sedih lagi saat ditinggal pergi
kamu nanti! Iya kan?. ”
Suamiku mengangguk sambil
melihat kepalaku tapi tak
sedikitpun ia tersenyum dan
bertanya kenapa rambutku
rontok, dia hanya mengatakan
jangan salah memakai shampo.
Dalam hatiku bertanya,
“ mengapa ia sangat cuek?”
dan ia sudah tak memanjakanku
lagi. Lalu dia berkata, “sudah
malam, kita istirahat yuk!“
“Aku sholat isya dulu baru aku
tidur”, jawabku tenang.
Dalam sholat dan dalam tidur aku
menangis. Ku hitung mundur
waktu, kapan aku akan berbagi
suami dengannya. Aku pun ikut
sibuk mengurusi pernikahan
suamiku.
Aku tak tahu kalau Desi orang
Sabang juga. Sudahlah, ini
mungkin takdirku. Aku ingin
suamiku kembali seperti dulu,
yang sangat memanjakan aku
atas rasa sayang dan cintanya itu..
***
Malam sebelum hari pernikahan
suamiku, aku menulis curahan
hatiku di laptopku.
Di laptop aku menulis saat-saat
terakhirku melihat suamiku, aku
marah pada suamiku yang telah
menelantarkanku. Aku menangis
melihat suamiku yang sedang
tidur pulas, apa salahku? sampai
ia berlaku sekejam itu kepadaku.
Aku
save di mydocument yang bertitle
“ Aku Mencintaimu Suamiku.”
Hari pernikahan telah tiba, aku
telah siap, tapi aku tak sanggup
untuk keluar. Aku berdiri didekat
jendela, aku melihat matahari,
karena mungkin saja aku takkan
bisa melihat sinarnya lagi. Aku
berdiri sangat lama.. lalu suamiku
yang telah siap dengan pakaian
pengantinnya masuk dan
berbicara padaku.
“Apakah kamu sudah siap?”
Kuhapus airmata yang menetes
diwajahku sambil berkata :
“Nanti jika ia telah sah jadi
istrimu, ketika kamu membawa ia
masuk kedalam rumah ini, cucilah
kakinya sebagaimana kamu
mencuci kakiku dulu, lalu ketika
kalian masuk ke dalam kamar
pengantin bacakan do ’a di
ubun-ubunnya sebagaimana yang
kamu lakukan padaku dulu. Lalu
setelah itu.. ”, perkataanku
terhenti karena tak sanggup aku
meneruskan pembicaraan itu, aku
ingin menagis meledak.
Tiba-tiba suamiku menjawab
“ Lalu apa Bunda?”
Aku kaget mendengar kata itu,
yang tadinya aku menunduk
seketika aku langsung
menatapnya dengan mata yang
berbinar-binar …
“Bisa kamu ulangi apa yang
kamu ucapkan barusan?”,
pintaku tuk menyakini bahwa
kuping ini tidak salah mendengar.
Dia mengangguk dan berkata,
” Baik bunda akan ayah ulangi,
lalu apa bunda?”, sambil ia
mengelus wajah dan menghapus
airmataku, dia agak sedikit
membungkuk karena dia sangat
tinggi, aku hanya sedadanya saja.
Dia tersenyum sambil berkata,
” Kita lihat saja nanti ya!”. Dia
memelukku dan berkata, “bunda
adalah wanita yang paling kuat
yang ayah temui selain mama ”..
Kemudian ia mencium keningku,
aku langsung memeluknya erat
dan berkata, “Ayah, apakah ini
akan segera berakhir? Ayah
kemana saja? Mengapa Ayah
berubah? Aku kangen sama Ayah?
Aku kangen belaian kasih sayang
Ayah? Aku kangen dengan
manjanya Ayah? Aku kesepian
Ayah? Dan satu hal lagi yang
harus Ayah tau, bahwa aku tidak
pernah berzinah! Dulu.. waktu
awal kita pacaran, aku memang
belum bisa melupakannya, setelah
4 bulan bersama Ayah baru bisa
aku terima, jika yang dihadapanku
itu adalah lelaki yang aku cari.
Bukan berarti aku pernah berzina
Ayah. ” Aku langsung bersujud di
kakinya dan muncium kaki
imamku sambil berkata, ”Aku
minta maaf Ayah, telah
membuatmu susah ”.
Saat itu juga, diangkatnya
badanku.. ia hanya menangis.
Ia memelukku sangat lama, 2
tahun aku menanti dirinya
kembali. Tiba-tiba perutku sakit,
ia menyadari bahwa ada yang
tidak beres denganku dan ia
bertanya, ”bunda baik-baik saja
kan?” tanyanya dengan penuh
khawatir.
Aku pun menjawab, “bisa
memeluk dan melihat kamu
kembali seperti dulu itu sudah
mebuatku baik, Yah. Aku hanya
tak bisa bicara sekarang “.
Karena dia akan menikah. Aku tak
mau membuat dia khawatir. Dia
harus khusyu menjalani acara
prosesi akad nikah tersebut.
***