Cerita ini adalah kisah nyata…
dimana perjalanan hidup ini ditulis
oleh seorang istri dalam sebuah
lapt...opnya.
Bacalah, semoga kisah nyata ini
menjadi pelajaran bagi kita
semua.
***
Cinta itu butuh kesabaran…
Sampai dimanakah kita harus
bersabar menanti cinta kita???
Hari itu.. aku dengannya
berkomitmen untuk menjaga cinta
kita..
Aku menjadi perempuan yg paling
bahagia …..
Pernikahan kami sederhana
namun meriah …..
Ia menjadi pria yang sangat
romantis pada waktu itu.
Aku bersyukur menikah dengan
seorang pria yang shaleh, pintar,
tampan & mapan pula.
Ketika kami berpacaran dia sudah
sukses dalam karirnya.
Kami akan berbulan madu di
tanah suci, itu janjinya ketika kami
berpacaran dulu..
Dan setelah menikah, aku
mengajaknya untuk umroh ke
tanah suci ….
Aku sangat bahagia dengannya,
dan dianya juga sangat
memanjakan aku … sangat terlihat
dari rasa cinta dan rasa
sayangnya pada ku.
Banyak orang yang bilang kami
adalah pasangan yang serasi.
Sangat terlihat sekali bagaimana
suamiku memanjakanku. Dan aku
bahagia menikah dengannya.
***
Lima tahun berlalu sudah kami
menjadi suami istri, sangat tak
terasa waktu begitu cepat
berjalan walaupun kami hanya
hidup berdua saja karena sampai
saat ini aku belum bisa
memberikannya seorang malaikat
kecil (bayi) di tengah
keharmonisan rumah tangga
kami.
Karena dia anak lelaki satu-
satunya dalam keluarganya, jadi
aku harus berusaha untuk
mendapatkan penerus generasi
baginya.
Alhamdulillah saat itu suamiku
mendukungku …
Ia mengaggap Allah belum
mempercayai kami untuk menjaga
titipan-NYA.
Tapi keluarganya mulai resah. Dari
awal kami menikah, ibu & adiknya
tidak menyukaiku. Aku sering
mendapat perlakuan yang tidak
menyenangkan dari mereka,
namun aku selalu berusaha
menutupi hal itu dari suamiku…
Didepan suami ku mereka berlaku
sangat baik padaku, tapi
dibelakang suami ku, aku dihina-
hina oleh mereka …
Pernah suatu ketika satu tahun
usia pernikahan kami, suamiku
mengalami kecelakaan, mobilnya
hancur. Alhamdulillah suami ku
selamat dari maut yang hampir
membuat ku menjadi seorang
janda itu.
Ia dirawat dirumah sakit pada
saat dia belum sadarkan diri
setelah kecelakaan. Aku selalu
menemaninya siang & malam
sambil kubacakan ayat-ayat suci
Al – Qur’an. Aku sibuk bolak-
balik dari rumah sakit dan dari
tempat aku melakukan aktivitas
sosial ku, aku sibuk mengurus
suamiku yang sakit karena
kecelakaan.
Namun saat ketika aku kembali ke
rumah sakit setelah dari rumah
kami, aku melihat di dalam
kamarnya ada ibu, adik-adiknya
dan teman-teman suamiku, dan
disaat itu juga.. aku melihat ada
seorang wanita yang sangat
akrab mengobrol dengan ibu
mertuaku. Mereka tertawa
menghibur suamiku.
Alhamdulillah suamiku ternyata
sudah sadar, aku menangis ketika
melihat suami ku sudah sadar,
tapi aku tak boleh sedih di
hadapannya.
Kubuka pintu yang tertutup rapat
itu sambil mengatakan,
“ Assalammu’alaikum” dan
mereka menjawab salam ku. Aku
berdiam sejenak di depan pintu
dan mereka semua melihatku.
Suamiku menatapku penuh manja,
mungkin ia kangen padaku
karena sudah 5 hari mata nya
selalu tertutup.
Tangannya melambai,
mengisyaratkan aku untuk
memegang tangannya erat.
Setelah aku menghampirinya,
kucium tangannya sambil berkata
“ Assalammu’alaikum”, ia pun
menjawab salam ku dengan
suaranya yg lirih namun penuh
dengan cinta. Aku pun senyum
melihat wajahnya.
Lalu.. Ibu nya berbicara denganku
“Fis, kenalkan ini Desi teman
Fikri”.
Aku teringat cerita dari suamiku
bahwa teman baiknya pernah
mencintainya, perempuan itu
bernama Desi dan dia sangat
akrab dengan keluarga suamiku.
Hingga akhirnya aku bertemu
dengan orangnya juga. Aku pun
langsung berjabat tangan
dengannya, tak banyak aku bicara
di dalam ruangan tersebut,aku
tak mengerti apa yg mereka
bicarakan.
Aku sibuk membersihkan &
mengobati luka-luka di kepala
suamiku, baru sebentar aku
membersihkan mukanya, tiba-tiba
adik ipar ku yang bernama Dian
mengajakku keluar, ia minta
ditemani ke kantin. Dan suamiku
pun mengijinkannya. Kemudian
aku pun menemaninya.
Tapi ketika di luar adik ipar ku
berkata, ”lebih baik kau pulang
saja, ada
kami yg menjaga abang disini. Kau
istirahat saja. ”
Anehnya, aku tak diperbolehkan
berpamitan dengan suamiku
dengan alasan abang harus
banyak beristirahat dan karena
psikologisnya masih labil. Aku
berdebat dengannya
mempertanyakan mengapa aku
tidak diizinkan berpamitan
dengan suamiku. Tapi tiba-tiba
ibu mertuaku datang
menghampiriku dan ia juga
mengatakan hal yang sama.
Nantinya dia akan memberi alasan
pada suamiku mengapa aku
pulang tak berpamitan padanya,
toh suamiku selalu menurut apa
kata ibunya, baik ibunya Salah
ataupun Tidak, suamiku tetap saja
membenarkannya. Akhirnya aku
pun pergi meninggalkan rumah
sakit itu dengan linangan air
mata.
Sejak saat itu aku tidak pernah
diijinkan menjenguk suamiku
sampai ia kembali dari rumah
sakit. Dan aku hanya bisa
menangis dalam kesendirianku.
Menangis mengapa mereka
sangat membenciku.
***
Hari itu.. aku menangis tanpa
sebab, yang ada di benakku aku
takut kehilangannya, aku takut
cintanya dibagi dengan yang lain.
Pagi itu, pada saat aku
membersihkan pekarangan rumah
kami, suamiku memanggil ku ke
taman belakang, ia baru saja
selesai sarapan, ia mengajakku
duduk di ayunan favorit kami
sambil melihat ikan-ikan yang
bertaburan di kolam air mancur
itu.
Aku bertanya, ”Ada apa kamu
memanggilku?”
Ia berkata, ”Besok aku akan
menjenguk keluargaku di
Sabang ”
Aku menjawab, ”Ia sayang.. aku
tahu, aku sudah mengemasi
barang-barang kamu di travel bag
dan kamu sudah memeegang
tiket bukan ?”
“Ya tapi aku tak akan lama
disana, cuma 3 minggu aku
disana, aku juga sudah lama tidak
bertemu dengan keluarga
besarku sejak kita menikah dan
aku akan pulang dengan mama
ku ”, jawabnya tegas.
“Mengapa baru sekarang bicara,
aku pikir hanya seminggu saja
kamu disana ?“, tanya ku balik
kepadanya penuh dengan rasa
penasaran dan sedikit rasa
kecewa karena ia baru
memberitahukan rencana
kepulanggannya itu, padahal aku
telah bersusah payah mencarikan
tiket pesawat untuknya.
”Mama minta aku yang
menemaninya saat pulang
nanti ”, jawabnya tegas.
”Sekarang aku ingin seharian
dengan kamu karena nanti kita 3
minggu tidak bertemu, ya kan ?”,
lanjut nya lagi sambil memelukku
dan mencium keningku. Hatiku
sedih dengan keputusannya, tapi
tak boleh aku tunjukkan pada
nya.
Bahagianya aku dimanja dengan
suami yang penuh dengan rasa
sayang & cintanya walau
terkadang ia bersikap kurang adil
terhadapku.
Aku hanya bisa tersenyum saja,
padahal aku ingin bersama
Suamiku, tapi karena keluarganya
tidak menyukaiku hanya karena
mereka cemburu padaku karena
Suamiku sangat sayang padaku.
Kemudian aku memutuskan agar
ia saja yg pergi dan kami juga
harus berhemat dalam
pengeluaran anggaran rumah
tangga kami.
Karena ini acara sakral bagi
keluarganya, jadi seluruh
keluarganya harus komplit.
Walaupun begitu, aku pun tetap
tak akan diperdulikan oleh
keluarganya harus datang
ataupun tidak. Tidak hadir justru
membuat mereka sangat senang
dan aku pun tak mau membuat
riuh keluarga ini.
Malam sebelum kepergiannya, aku
menangis sambil membereskan
keperluan yang akan dibawanya
ke Sabang, ia menatapku dan
menghapus airmata yang jatuh
dipipiku, lalu aku peluk erat
dirinya. Hati ini bergumam tak
merelakan dia pergi seakan terjadi
sesuatu, tapi aku tidak tahu apa
yang akan terjadi. Aku hanya bisa
menangis karena akan ditinggal
pergi olehnya.
Aku tidak pernah ditinggal pergi
selama ini, karena kami selalu
bersama-sama kemana pun ia
pergi.
Apa mungkin aku sedih karena
aku sendirian dan tidak memiliki
teman, karena biasanya hanya
pembantu sajalah teman
mengobrolku.
Hati ini sedih akan di tinggal pergi
olehnya.
Sampai keesokan harinya, aku
terus menangis.. menangisi
kepergiannya. Aku tak tahu
mengapa sesedih ini, perasaanku
tak enak, tapi aku tak boleh
berburuk sangka. Aku harus
percaya apada suamiku. Dia pasti
akan selalu menelponku.
***
Berjauhan dengan suamiku, aku
merasa sangat tidak nyaman, aku
merasa sendiri. Untunglah aku
mempunyai kesibukan sebagai
seorang aktivis, jadinya aku tak
terlalu kesepian ditinggal pergi ke
Sabang.
Saat kami berhubungan jarak
jauh, komunikasi kami memburuk
dan aku pun jatuh sakit. Rahimku
terasa sakit sekali seperti di lilit
oleh tali. Tak tahan aku menahan
rasa sakit dirahimku ini, sampai-
sampai aku mengalami
pendarahan. Aku dilarikan ke
rumah sakit oleh adik laki-lakiku
yang kebetulan menemaniku
disana. Dokter memvonis aku
terkena kanker mulut rahim
stadium 3.
Aku menangis.. apa yang bisa aku
banggakan lagi..
Mertuaku akan semakin
menghinaku, suamiku yang
malang yang selalu berharap akan
punya keturunan dari rahimku..
namun aku tak bisa
memberikannya keturunan. Dan
kemudian aku hanya bisa
memeluk adikku.
Aku kangen pada suamiku, aku
selalu menunggu ia pulang dan
bertanya-tanya, “kapankah ia
segera pulang?” aku tak tahu..
Sementara suamiku disana, aku
tidak tahu mengapa ia selalu
marah-marah jika menelponku.
Bagaimana aku akan
menceritakan kondisiku jika ia
selalu marah-marah terhadapku..
Lebih baik aku tutupi dulu
tentang hal ini dan aku juga tak
mau membuatnya khawatir
selama ia berada di Sabang.
Lebih baik nanti saja ketika ia
sudah pulang dari Sabang, aku
akan cerita padanya. Setiap hari
aku menanti suamiku pulang, hari
demi hari aku hitung …
Sudah 3 minggu suamiku di
Sabang, malam itu ketika aku
sedang melihat foto-foto kami,
ponselku berbunyi menandakan
ada sms yang masuk.
Kubuka di inbox ponselku,
ternyata dari suamiku yang sms.
Ia menulis, “aku sudah beli tiket
untuk pulang, aku pulangnya satu
hari lagi, aku akan kabarin lagi ”.
Hanya itu saja yang diinfokannya.
Aku ingin marah, tapi aku pendam
saja ego yang tidak baik ini. Hari
yg aku tunggu pun tiba, aku
menantinya di rumah.
Sebagai seorang istri, aku pun
berdandan yang cantik dan
memakai parfum kesukaannya
untuk menyambut suamiku
pulang, dan nantinya aku juga
akan menyelesaikan masalah
komunikasi kami yg buruk akhir-
akhir ini.
Bel pun berbunyi, kubukakan
pintu untuknya dan ia pun
mengucap salam. Sebelum masuk,
aku pegang tangannya kedepan
teras namun ia tetap berdiri, aku
membungkuk untuk melepaskan
sepatu, kaos kaki dan kucuci
kedua kakinya, aku tak mau ada
syaithan yang masuk ke dalam
rumah kami.
Setelah itu akupun berdiri
langsung mencium tangannya
tapi apa reaksinya..
Masya Allah.. ia tidak mencium
keningku, ia hanya diam dan
langsung naik keruangan atas,
kemudian mandi dan tidur tanpa
bertanya kabarku..
Aku hanya berpikir, mungkin dia
capek. Aku pun segera merapikan
bawaan nya sampai aku pun
tertidur. Malam menunjukkan 1/3
malam, mengingatkan aku pada
tempat mengadu yaitu Allah, Sang
Maha Pencipta.
Biasa nya kami selalu
berjama ’ah, tapi karena melihat
nya tidur sangat pulas, aku tak
tega membangunkannya. Aku
hanya mengelus wajahnya dan
aku cium keningnya, lalu aku
sholat tahajud 8 rakaat plus witir
3 raka ’at.
***
Aku mendengar suara mobilnya,
aku terbangun lalu aku melihat
dirinya dari balkon kamar kami
yang bersiap-siap untuk pergi.
Lalu aku memanggilnya tapi ia tak
mendengar. Kemudian aku ambil
jilbabku dan aku berlari dari atas
ke bawah tanpa memperdulikan
darah yg bercecer dari rahimku
untuk mengejarnya tapi ia begitu
cepat pergi.
Aku merasa ada yang aneh
dengan suamiku. Ada apa dengan
suamiku? Mengapa ia bersikap
tidak biasa terhadapku?
Aku tidak bisa diam begitu saja,
firasatku mengatakan ada
sesuatu. Saat itu juga aku
langsung menelpon kerumah
mertuaku dan kebetulan Dian
yang mengangkat telponnya, aku
bercerita dan aku bertanya apa
yang sedang terjadi dengan
suamiku. Dengan enteng ia
menjawab, “Loe pikir aja
sendiri!!!”. Telpon pun langsung
terputus.
Ada apa ini? Tanya hatiku penuh
dalam kecemasan. Mengapa
suamiku berubah setelah ia
kembali dari kota kelahirannya.
Mengapa ia tak mau berbicara
padaku, apalagi memanjakan aku.
Semakin hari ia menjadi orang
yang pendiam, seakan ia telah
melepas tanggung jawabnya
sebagai seorang suami. Kami
hanya berbicara seperlunya saja,
aku selalu diintrogasinya. Selalu
bertanya aku dari mana dan
mengapa pulang terlambat dan ia
bertanya dengan nada yg keras.
Suamiku telah berubah..
Bahkan yang membuat ku kaget,
aku pernah dituduhnya berzina
dengan mantan pacarku. Ingin
rasanya aku menampar suamiku
yang telah menuduhku serendah
itu, tapi aku selalu ingat..
sebagaimana pun salahnya
seorang suami, status suami tetap
di atas para istri, itu pedoman
yang aku pegang.
Aku hanya berdo’a semoga
suamiku sadar akan prilakunya.
***