MySpace Layouts
MySpaceLayouts

-->
Daisypath - Personal pictureDaisypath Happy Birthday tickers

Selasa, 14 Februari 2012

TEBARKAN SALAM


Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَ لَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ ؟ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ )رَوَاهُ مُسْلِمٌ(
Kalian tidak akan masuk sorga hingga kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman (dengan sempurna) hingga kalian saling mencinta. Maukah kalian aku tunjukkan pada sesuatu yang jika kalian melakukannya, maka kalian akan saling mencinta? Tebarkan salam diantara kalian. (HR. Muslim)
Berucap salam adalah salah satu diantara sekian banyak ajaran Islam tentang pergaulan. Sekilas tampak sepele, tetapi salam telah mengambil porsi perhatian penting dalam khazanah keilmuan syariat. Dalam ranah fiqh Islam, khususnya fiqh Syafi’iyyah, pembahasan seputar salam seringkali diselipkan dalam awal bab jihad, saat penyebutan bentuk-bentuk amaliah yang berdimensi fardlu kifayah (kewajiban kolektif). Sebelum Islam datang, orang Arab jahiliyah telah memiliki tradisi saling menyapa saat bertemu. Islam datang dengan mengukuhkan tradisi luhur itu memberikan muatan doa di dalamnya, atas keselamatan orang lain yang ditemuinya. Dan, salam telah menjadi bagian integral dari ajaran Islam.

Menebar salam menjadi penyebab kecintaan dan kerukunan diantara sesama saudara muslim. Dan kecintaan serta kerukunan ini merupakan penyebab kesempurnaan iman dan keluhuran panji Islam. Sebaliknya, saling mendiamkan atau tak saling berucap salam merupakan awal dari putusnya hubungan baik, serta perpecahan diantara kaum muslimin, yang pada akhirnya menjadi penyebab lemah dan ringkihnya agama Islam. Demikian Imam Ath-Thîbiy memberikan ulasan.
Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya mengutip ungkapan ‘Ammar bin Yasir radliyallahuanhu:
ثَلَاثٌ مَنْ جَمَعَهُنَّ فَقَدْ جَمَعَ الْإِيمَانَ : الْإِنْصَافُ مِنْ نَفْسِكَ , وَبَذْلُ السَّلَامِ لِلْعَالِمِ , وَالْإِنْفَاقُ مِنْ الْإِقْتَارِ
Tiga hal, barangsiapa menghimpun ketiganya, maka dia telah menghimpun keimanan, yakni berbuat adil dari diri sendiri, menyampaikan salam pada alam (semua manusia), dan ber-infaq di saat membutuhkan.
Imam An-Nawawi mengomentari, bahwa menyampaikan salam pada alam, maksudnya adalah pada semua manusia, mencakup juga ketiadaan sikap sombong pada seorangpun dan juga ketiadaan sikap angkuh diantara manusia dengan enggan berucap salam.
Secara umum, hukum berucap salam dari seorang muslim pada muslim yang lain adalah sunnah, jika pengucap salam hanya seorang saja, maka status kesunnahannya adalah sunnah ‘ain (kesunnahan personal), dan jika lebih dari seorang maka status kesunnahannya adalah sunnah kifayah (kolektif). Sedang menjawabnya adalah wajib, jika orang yang diucapi salam hanya seorang, maka hukumnya wajib ‘ain, dan jika lebih dari seorang maka hukumnya wajib kifayah, jika salah satu diantara mereka menjawabnya, gugurlah kewajiban dari yang lain. Hukum tersebut di atas berlaku jika salam diucapkan antar lelaki saja, atau antar perempuan saja. Sedangkan hukum berucap salam dan menjawabnya yang terjadi antar lawan jenis, akan dipaparkan kemudian.
Tata cara berucap dan menjawab salam
Bentuk sighat atau redaksi salam telah diajarkan oleh Rasul dalam sejumlah hadits. Secara umum, paling minim ungkapan salam adalah 
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
Assalâmu’alaikum (Semoga keselamatan terlimpah atas kalian)
dengan menggunakan al ta’rif dan dlamir jama’ (kum), meski penerima salam hanya seorang, karena di samping orang tersebut, juga ada sekian Malaikat yang menyertainya. Sedangkan ungkapan salam secara lengkap adalah:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه 
Assalâmu’alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh (Semoga keselamatan, kasih sayang Allah dan berkah-Nya terlimpah atas kalian)
Sedangkan redaksi jawaban salam adalah 
وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ 
Sebaiknya dengan menggunakan wawu athaf (wa). 
Atau jawaban secara lengkapnya adalah
وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه
Dalam menjawab salam, minimal adalah sama, demikian dhahir ungkapan Imam Ar-Rauyani. Dan dianjurkan dengan jawaban yang lebih lengkap. Allah swt. berfirman:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا (النساء : 86)
Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu. (QS. An-Nisa’ 86)
Jawaban yang sama adalah jika seseorang menugucapkan salam dengan Assalâmu ‘alaikum warahmatullâh, maka minimal jawaban adalah dengan Wa ’alaikumus salâm warahmatullâh. Jawaban lebih baik adalah, jika pengujar salam mengucapkan Assalâmu ‘alaikum, maka hendaknya dijawab Wa ’alaikumus salâm warahmatullâh, atau Wa ’alaikumus salâm warahmatullâhi wa barakâtuh. Ucapan salam, menurut Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ sebagaimana pendapat shahih, juga bisa disampaikan dengan selain bahasa Arab, dengan syarat orang penerima salam memahaminya.
Selanjutnya, kesunnahan berucap salam akan terpenuhi dengan mengeraskan suara, sekira orang yang diucapi salam bisa mendengarnya. Jika ucapan salam tak terdengar, maka tak ada kewajiban menjawabnya. Demikian pula, kewajiban menjawab salam akan tertunaikan jika jawaban salam diucapkan dengan keras, sekira orang yang mengawali ucapan salam mendengar jawaban tersebut. Jika tak terdengar, maka jawaban salam tersebut belum cukup menggugurkan kewajiban. Jawaban salam juga disyaratkan harus sesegera mungkin, bersambung langsung dengan permulaan salam, tanpa ada pemisah waktu yang lama dan tanpa disela-selai perkataan lain. Jika jawaban salam ditunda hingga waktu yang lama, atau disela obrolan, maka hal tersebut tidak dianggap sebagai jawaban salam, dan orang yang diucapi salam berdosa karenanya.
Kepada siapa dan saat kapan salam diucapkan? 
Seorang muslim dianjurkan untuk mengucapkan salam pada semua muslim, terhadap orang yang dikenalnya maupun tidak. Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radliyallahu anhu, bahwa seorang lelaki bertanya pada Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, “Islam yang bagaimana yang paling baik ?” Beliau menjawab:
تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ (رواه البخاري ومسلم)
Engkau memberi makan (pada orang lain), dan membacakan salam atas orang yang kau kenal dan orang yang tidak kau kenal. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hanya saja, anjuran untuk berucap salam pada semua orang ini adalah dengan catatan, bahwa ucapan salam itu tidak sampai mengganggu kegiatan orang lain. Ada sejumlah kondisi seseorang yang tidak dianjurkan berucap salam kepadanya, diantaranya adalah sebagaimana dipaparkan dalam sejumlah literatur fiqh, sebgai berikut:
•Seseorang yang sedang mendatangi hajat, buang air kecil atau buang air besar. Makruh berucap salam kepadanya. Jika dia diucapi salam, maka makruh pula menjawabnya. 
•Seseorang yang sedang melakukan shalat. Makruh berucap salam kepadanya. Jika dia diucapi salam, maka haram menjawabnya dengan shighat khithab (wa’alaikumussalam atau wa’alaikassalam), yang dapat membatalkan shalatnya. Sebaiknya orang yang sedang shalat tersebut menjawabnya dengan isyarat tanpa ucapan.
•Seseorang yang sedang menyuarakan adzan atau iqamah. Makruh berucap salam kepadanya. Jika dia diucapi salam, maka tak ada kemakruhan dalam menjawabnya.
•Seseorang yang sedang makan, sementara suapan makanan masih berada dalam mulutnya. Makruh berucap salam kepadanya. Jika dia diucapi salam, maka tak harus dijawab. Sedangkan bila orang tersebut tidak sedang mengunyah makanan, maka diperbolehkan berucap salam padanya, dan wajib pula untuk dijawab.
Siapa yang harus memulai ucapan salam?
Jika ada dua orang bertemu, maka yang terbaik diantara keduanya adalah orang yang mengawali ucapan salam. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:
إنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِاَللَّهِ مَنْ بَدَأَهُمْ السَّلَامَ (رواه أبو داود)
Sesungguhnya seutama-utama manusia di sisi Allah adalah orang yang mengawali ucapan salam (HR. Abu Dawud)
Meski hukumnya sunnah, mengawali ucapan salam (ibtida’us salam) lebih baik daripada menjawab salam, yang hukumnya wajib. Hal ini karena dengan mengawali salam, seseorang berarti menyatakan kecintaan dan kasih sayang pada saudaranya. Dengan berucap salam, dia telah menanggalkan sikap tinggi diri, memematikan ego, dan menampakkan tawadlu’, terlebih saat berucap salam kepada orang yang belum dikenalnya.
Dalam kondisi tertentu, terdapat tata etika salam yang sunnah untuk diterapkan. Yakni bahwa pengendara hendaknya berucap salam pada pejalan kaki, pejalan kaki berucap salam pada orang yang duduk, orang yang muda usia berucap salam pada orang yang lebih tua, dan kelompok yang sedikit berucap salam pada kelompok yang banyak. Sebagaimana dalam hadits Bukhari dan Muslim. Sedangkan jika salah satu pihak mendatangi pihak yang lain, maka pihak yang datang berucap salam pada pihak yang didatangi, meskipun pihak pertama adalah orang yang lebih tua, atau kelompok orang-orang yang lebih banyak jumlahnya.
Media penyampaian salam 
Menebar salam bisa dilakukan melalui berbagai media. Cara yang lazim digunakan adalah melalui lisan secara face to face atau berhadap-hadapan. Ada cara lain sebagaimana diungkapkan oleh Imam Al-Mutawalli dan yang lain, sebagaimana dikutip Imam An-Nawawi dalam Al-Adzkar-nya, yakni seseorang berucap salam dari balik tabir, tanpa berhadap-hadapan dan tanpa melihat orang yang diucapi salam, maka orang yang diucapi salam wajib menjawabnya seketika itu. Hal ini mirip dengan ucapan salam dalam pembicaraan di telepon.
Atau dengan cara mengirimkan surat yang di dalamnya terdapat tulisan salam. Maka begitu surat diterima dan dibaca oleh orang yang dituju, dia wajib segera menjawabnya, cukup dengan ucapan lisan, atau dengan jawaban secara tertulis yang dikirimkan balik.
Bentuk lainnya adalah dengan menitipkan salam melalui orang lain. Setelah pembawa salam menyampaikannya, orang yang diucapi salam wajib segera menjawabnya secara lisan. Dalam menjawab salam semacam ini, disunnahkan pula menyisipkan ucapan salam kepada penyampai, dengan ucapan sebagai berikut:
وَعَلَيْكَ وَعَلَيْهِ السَّلاَمُ
Atau dengan ucapan lebih lengkap
وَعَلَيْكَ وَعَلَيْهِ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه
Dalam penitipan salam dan penyampaiannya, diharuskan ada shighat salam dari pengirim atau pembawa salam. Jika tidak, maka tak ada kewajiban menjawabnya. Secara sistematis, pola-pola penitipan salam adalah sebagaimana dalam tabel berikut:
No. Ucapan pengirim (misal: Zaid) kepada penyampai Ucapan penyampai kepada orang yang dituju (misal: Ahmad) Keterangan
1 سلّم لي على أحمد
(Sampaikan salam dariku pada Ahmad) Zaid berkata kepada engkau
السلام عليك Wajib dijawab, karena terdapat sighat salam dalam ucapn penyampai (yang bergaris bawah)
السلام عليك من زيد
(“Assalamu alaika”, dari Zaid) 
2 السلام على أحمد , فبلغه عني
(“Assalaamu ‘ala Ahmad”, sampaikan kepadanya, dari saya زيد يسلم عليك
(Zaid berucap salam kepada engkau) Wajib dijawab, karena terdapat sighat salam dalam ucapn pengirim (yang bergaris bawah)
3 سلّم لي على أحمد
(Sampaikan salam dariku pada Ahmad) زيد يسلم عليك
(Zaid berucap salam kepada engkau) Tidak wajib dijawab, karena tidak ada sighat salam dari pengirim ataupun penyampai
Orang yang dititipi salam wajib menyampaikan amanah yang dibebankan kepadanya jika dia telah menyanggupinya. Dalam contoh kasus (1) sebagaimana dalam tabel, dia wajib menyampaikannya dengan shighat salam, karena dalam contoh kasus ini penitipan salam sama halnya dengan pemberian kuasa untuk mengucapkan salam atas nama pengirim. Sedang dalam contoh kasus (2), karena pengirim salam telah mengungkapkan shighat salam, maka penyampai bisa memilih bentuk penyampaian dengan ataupun tanpa shighat salam. Adapun dalam contoh kasus (3), karena ketiadaan shighat salam dari pengirim dan penyampai, maka orang yang dikirimi salam tak wajib menjawabnya. Meski demikian, tatkala penyampai tidak menggunakan shighat salam, sebaiknya orang yang dikirimi salam segera menjawabnya, tanpa perlu mempertanyakan apakah pengirim mengucapkan shighat atau tidak. Wallâhu a’lam bish-shawâb.  (Bersambung pada bagian kedua)
Referensi:
1.As-Sayyid Abu Bakar al-Bakriy bin Muhammad Syatha, I’anah at-Thâlibîn, Surabaya: Al-Haramain, tt.
2.Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2002.
3.Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Adzkâr, Surabaya: Al-Hidayah, tt.
4.Muhammad bin ‘Alân, Al-Futûhât ar-Rabbâniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
5.As-Sayyid ‘Alawiy bin Ahmad as-Saqqaf, Fath al-Allâm fî Ahkâm al-Salâm, dalam Sab’ah Kutub Mufîdah, Surabaya: Al-Hidayah, tt.
6.Muhammad Abdurrahman bin Abdirrahman al-Mubarakfuriy, Tuhfah al-Ahwadziy, Beirut: Darul Fikr, tt

Tidak ada komentar:

Posting Komentar